Oleh: Ariel Heryanto

RUU Bahasa

Semakin banyak orang Indonesia yang berpikir dalam bahasa Inggris. Maka, bila istilah-istilah Inggris berhamburan dari tuturan mereka, harap maklum. Bukan cuma selera makan, berpakaian, belajar, atau hiburan mereka semakin mirip apa yang tampil di film Hollywood atau siaran MTV.

Ada yang pernah membuat daftar panjang judul film Indonesia yang menggunakan bahasa Inggris. Bukannya itu salah atau harus dilarang. Soalnya, persentase judul film berbahasa asing dalam satu dekade belum pernah sebanyak ini dalam seluruh sejarah film nasional. Layak jika orang bertanya ada apa ini. Apalagi jika gejala serupa merebak di luar film, dan keliru.

Tanpa niat melucu atau mengejek, Koran Tempo (16/09/2006) menggunakan ucapan anggota DPRD DKI tentang suatu kesalahpahaman sebagai judul berita: “Itu masalah miss communication. Tak perlu dibesar-besarkan.”

Seminggu yang lalu Kompas (04/03/2007) memberitakan pidato Rendra di UGM: “Bangsa Indonesia perlu me-reinventing atau menciptakan tata kehidupan yang baru berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengalaman dari tradisi yang lama yang baik dan berguna.” Me-reinventing? Bukan Indonesia, Inggris pun bukan.

Berikut cuplikan dari naskah film Indonesia yang sangat populer di kalangan remaja, 30 Hari Mencari Cinta: “Dengan gerakan slow motion, mereka berhenti sejenak di puncak tangga sambil memandangi suasana disko dengan pandangan prejudice alias kamuflase ketidakpedean. Ini war zone mereka. Minus body armour and helmet. Bahkan output malam ini, lebih penting dari Judgement Day. Di sini, daya tarik, kecantikan dan inner-outer-upper-lower beauty yang menjadi taruhannya.”

Tidak ada sebuah kalimat yang sepenuhnya dalam bahasa Inggris, atau sepenuhnya dalam bahasa Indonesia. Gejala ini semakin lama dianggap wajar atau “normal”.

SEBELUM tahun 1980-an, bahasa seperti itu akan dituduh sok ke-Barat-Barat-an. Sekarang tuduhan semacam itu tidak berlaku. Pembuat dan penonton 30 Hari Mencari Cinta tidak berusaha mem-Barat-Barat-kan diri. Mereka sudah separuh “Barat” tanpa niatan begitu, tanpa juga sesal. Mereka hidup dan dibesarkan dalam lingkungan yang kuyup dengan budaya pop Amerika.

Ketika pengarang 30 Hari Mencari Cinta berusaha meng-Indonesia-Indonesia-kan bahasanya, hasilnya malah lucu dan aneh: “Flashback menghantui alam memori mereka. Kadang, nostalgia yang tersimpan dalam laci ingatan, bisa sangat menakutkan. Tapi saat bersamaan, emang Real & the only thing we’ve got! Reality bites … Satu-satunya cowok yang dekat dengan mereka adalah Bono!! Oh tidak!!!”

Apa maksudnya “Oh tidak” di akhir kutipan itu? Hanya orang yang tahu bahasa Inggris akan paham pengarang itu bermaksud mengatakan, “Oh no!” dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia, ungkapan itu kira-kira sama dengan “Waduh!” atau “Gawat!”, atau “Celaka”. Bukannya bahasa Indonesia tidak punya istilah serupa. Bukannya orang Indonesia tidak mengatakan perasaan yang kira-kira sama. Tetapi, semakin banyak orang Indonesia tidak tahu dan mungkin juga tidak peduli.

Kepedulian ini menjadi persoalan bagi mereka yang menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Bahasa. Usulan itu ditolak banyak orang. Ada yang menolak karena antipati pada apa pun yang diatur negara. Maklum, karena banyak yang menderita trauma berkepanjangan dari hidup di bawah pemerintahan militer Orde Baru.

Ada yang menolak RUU itu karena salah paham. Mereka mengira RUU ini merupakan ungkapan semangat nasionalisme kesiangan. Dikiranya RUU itu menolak apa pun yang berbau asing dalam berbahasa. Kesalahpahaman ini pun dapat dimaklumi karena semangat nasionalisme menggebu sering tampil kekanak-kanakan di Tanah Air.

Mungkin saja ada unsur nasionalisme di balik RUU Bahasa. Namun, pengusul RUU Bahasa tampaknya tidak membabi buta menolak istilah-istilah asing dalam bahasa Indonesia. RUU Bahasa lebih didorong oleh keprihatinan atas jumlah dan cara pemakaian istilah-istilah Inggris secara obral dan serampangan.

KALAU pemahaman itu benar, saya termasuk orang yang ikut bersimpati dan merasakan keprihatinan itu. Tetapi, saya termasuk orang yang tidak setuju digunakannya perangkat hukum seperti undang-undang untuk mengatasinya.

Bila mau membersihkan meja kotor, kita butuh kain lap yang bersih. Pranata hukum kita jauh lebih kotor daripada bahasa kita yang sudah berlepotan logika dan akrobatik istilah.

Ini bukan kurangnya nasionalisme. Bukan juga pemujaan pada Barat. Budaya pop Barat merupakan barang sehari-hari yang tidak istimewa seperti halnya generasi terdahulu. Persoalannya, banyak dari kita yang malas berpikir dalam berbahasa. Apa pun yang lewat di benak dituturkan kepada orang lain tanpa dicerna dan diolah.

Jika budaya pop Amerika dapat diibaratkan hujan deras, banyak orang Indonesia yang basah kehujanan bahkan kebanjiran. Mereka malas membersihkan tangan dengan handuk sebelum berjabat tangan santun dengan orang lain di tempat kering.

Rubrik Asal-Usul Kompas Cyber Media, 11 Maret 2007,
Ariel Heryanto

Disadur dengan izin dari Penulis

This entry was posted in Guest Writers, Indonesia and tagged , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    Oliver Wendell Holmes and the Old Ironsides

    In 1830, young Oliver Holmes wrote a contradictive poem entitled ‘The Old Ironsides’. The poem was about a United States Navy battleship USS Constitution that was about to be dismantled. This fictional script adopts the setting similar to that of a television talkshow. Although the characters represented in the script are not completely accurate and some even blundered for comedy effects, the facts about Mr Holmes and USS Constitution are real.