Alkisah di sebuah negara yang dikenal sangat lucu terdapat sebuah sistem tata negara dan tata masyarakat layaknya di banyak negara lain. Pemerintahannya mengadopsi pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sementara masyarakatnya kaya akan sistem adat dan norma tradisional serta diperkuat dengan nilai keagamaan yang kental –yang meskipun terus didera angin perubahan tapi tetap eksis. Negara ini dianggap lucu karena banyak hal. Lucu, karena berlimpah sumber dayanya tapi lebih dari setengah rakyatnya hidup miskin. Lucu, karena luas wilayahnya sama sekali tidak sebanding dengan pengaruhnya di dunia. Lucu, karena banyak penduduknya tapi kacau pengelolaannya.
Ambil saja contoh kejadian lucu nan heboh yang belum lama terjadi disana. Kejadian ini merupakan ilustrasi yang cukup luas sebenarnya karena sedikit-banyak merangkum komedi yang sedang terjadi di negara itu.
Sebuah rekaman “panas” (lagi-lagi) beredar di tengah masyarakat. Sebetulnya ini bukan hal yang baru bagi masyarakat itu karena sejak beberapa tahun lalu rekaman-rekaman sejenis sudah sempat beredar juga. Tapi katanya yang kali ini berbeda karena melibatkan pejabat nasional, seorang anggota parlemen tepatnya. Dari satu kejadian ini saja banyak hal-hal lucu yang bisa diamati.
Kelucuan pertama, negara dan masyarakat tersebut selalu bangga dan mengaku beragama. Bahkan seringkali mereka membela mati-matian identitas keagamaannya dengan segala cara. Lucu kan kalau di tengah masyarakat religius menjamur rekaman-rekaman “panas”? Akh, tapi ini mungkin ini cara mereka menerapkan secara riil konsep ’cinta produksi dalam negeri’.
Kelucuan kedua, negara dan masyarakat tersebut juga bangga dengan pelembagaan agama dalam sistem politik dan kenegaraan mereka secara formal, meskipun juga tidak mau terang-terangan mengadopsi sistem negara agama. Lucunya, Departemen Agama di negara itu adalah salah satu departemen paling korup. Lucunya lagi dalam kejadian tadi, salah satu dari dua aktornya adalah (kini mantan) ketua bidang keagamaan dari partai politik terbesar disana.
Kelucuan ketiga, dan ini paling lucu bagi kita praktisi komunikasi, adalah betapa masyarakat disana lebih senang tenggelam (dan selalu termakan) dalam komunikasi sensasional ketimbang komunikasi substansial –bahkan kaum terdidik sekalipun. Padahal mereka sebenarnya sangat hebat karena meskipun setiap suku yang jumlahnya ratusan memiliki bahasa sendiri-sendiri, tapi mereka tulus dan sepakat untuk menggunakan satu bahasa –dan bahasa itupun bukan bahasa suku yang dominan. Di tengah dunia dan zaman pada saat itu, kualitas toleransi dan kekompakan yang mereka tunjukkan termasuk dalam kategori luar biasa. Mereka selayaknya bangga dengan prestasi yang unik ini. Mereka sudah mantap dengan sarana dan alat komunikasi bersama: bahasa nasional.
Lucunya adalah sarana komunikasi yang mantap itu rupanya tidak diimbangi dengan substansi komunikasi yang mantap. Lihat saja media-media di negara itu, mereka memang kompak menggunakan bahasa bersama, tapi rupanya cukup kompak juga dalam mengkomunikasikan banyak hal yang lebih sensasional ketimbang substansial.
Dalam kasus rekaman sang pejabat, materi komunikasi yang terlempar di masyarakat mayoritas bekisar cercaan pedas, kekecewaan, dan berujung pada tuntutan yang bersangkutan supaya mundur dari jabatannya. Di tengah atmosfer sensasional yang dibangun –entah sengaja entah tidak– oleh media dan masyarakat itu sendiri, hal-hal tersebut mungkin tampak wajar.
Tapi fenomena ini sebenarnya sangat lucu karena tidak didukung oleh substansi yang tepat, bahkan keliru dan salah kaprah. Saking tenggelamnya diskusi publik di ranah sensasional, sedikit sekali yang bisa mengkomunikasikan substansi yang penting. Apa sih substansi seseorang menjadi pejabat negara seperti anggota parlemen? Dan apa substansi yang sebenarnya valid untuk memaksa seseorang mundur dari jabatan pemerintahan?
Seharusnya substansinya tidak lain dan tidak bukan adalah kinerja yang bersangkutan dalam mengemban tugasnya. Lucu bukan kalau “hanya” karena rekaman beberapa menit saja yang tidak ada hubungannya dengan kinerja yang bersangkutan di parlemen bisa memaksanya mundur sementara mungkin lusinan atau bahkan ratusan kolega lainnya dengan kinerja buruk masih bisa melenggang di kantor yang terhormat. Kalaupun yang bersangkutan itu memang kinerjanya juga buruk, ya silakan diproses atas dasar kinerjanya, bukan atas dasar perbuatannya di waktu pribadi. Jika perbuatannya itu melanggar hukum, ya silakan dilakukan proses hukum yang berlaku.
Sepintas lalu mungkin ini trivial. Meskipun hasilnya mirip yaitu pemberhentian pejabat, tapi proses dan dasar pengambilan keputusan haruslah tepat. Kurangnya komunikasi akan proses dan dasar logika yang benar inilah yang rupanya makin membuat negara itu lucu. Pengangkatan dan pemberitaan yang terfokus pada masalah kinerja pejabat kiranya akan jauh lebih elegan, mendidik, dan substantif daripada melulu berkutat pada rekaman sensasional. Apalagi belum lama di negara itu katanya difatwakan haram untuk membuka dan membicarakan secara publik aib rumah tangga seseorang, selebriti sekalipun.
Sebagai penutup kisah komedi ini, hal lucu terakhir adalah meskipun masyarakat dan media disana sering sekali menunjuk jari kepada “yang salah” tapi sebenarnya kalau mau dicari siapa yang salah sebenarnya salah siapa? Masyarakat disana telah diberikan kesempatan memilih wakil-wakilnya di parlemen dalam sebuah pesta demokrasi yang diacungi jempol oleh negara-negara lain. Komunitas media dan pembentuk opini juga memiliki kesempatan untuk memberikan restu (endorsement) atau kontra-opini terhadap partai atau golongan tertenu pra-pemilihan. Jadi salah siapa para wakil rakyat itu bisa menempati jabatannya? Di awal mereka dipilih rakyat sebagai alat negara kemudian dijatuhkan karena hal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan dan kinerja mereka.
Kelucuan-kelucuan diatas bagi orang lain mungkin memang benar-benar lucu. Sayang, kita tidak bisa ikut tertawa lepas karena saya dan Anda tahu negara dan masyarakat lucu itu negara dan masyarakatnya siapa.
Rotterdam, Desember 2006
Michael C. Putrawenas
Komunikasi Substansial vs. Komunikasi Sensasional
Alkisah di sebuah negara yang dikenal sangat lucu terdapat sebuah sistem tata negara dan tata masyarakat layaknya di banyak negara lain. Pemerintahannya mengadopsi pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sementara masyarakatnya kaya akan sistem adat dan norma tradisional serta diperkuat dengan nilai keagamaan yang kental –yang meskipun terus didera angin perubahan tapi tetap eksis. Negara ini dianggap lucu karena banyak hal. Lucu, karena berlimpah sumber dayanya tapi lebih dari setengah rakyatnya hidup miskin. Lucu, karena luas wilayahnya sama sekali tidak sebanding dengan pengaruhnya di dunia. Lucu, karena banyak penduduknya tapi kacau pengelolaannya.
Ambil saja contoh kejadian lucu nan heboh yang belum lama terjadi disana. Kejadian ini merupakan ilustrasi yang cukup luas sebenarnya karena sedikit-banyak merangkum komedi yang sedang terjadi di negara itu.
Sebuah rekaman “panas” (lagi-lagi) beredar di tengah masyarakat. Sebetulnya ini bukan hal yang baru bagi masyarakat itu karena sejak beberapa tahun lalu rekaman-rekaman sejenis sudah sempat beredar juga. Tapi katanya yang kali ini berbeda karena melibatkan pejabat nasional, seorang anggota parlemen tepatnya. Dari satu kejadian ini saja banyak hal-hal lucu yang bisa diamati.
Kelucuan pertama, negara dan masyarakat tersebut selalu bangga dan mengaku beragama. Bahkan seringkali mereka membela mati-matian identitas keagamaannya dengan segala cara. Lucu kan kalau di tengah masyarakat religius menjamur rekaman-rekaman “panas”? Akh, tapi ini mungkin ini cara mereka menerapkan secara riil konsep ’cinta produksi dalam negeri’.
Kelucuan kedua, negara dan masyarakat tersebut juga bangga dengan pelembagaan agama dalam sistem politik dan kenegaraan mereka secara formal, meskipun juga tidak mau terang-terangan mengadopsi sistem negara agama. Lucunya, Departemen Agama di negara itu adalah salah satu departemen paling korup. Lucunya lagi dalam kejadian tadi, salah satu dari dua aktornya adalah (kini mantan) ketua bidang keagamaan dari partai politik terbesar disana.
Kelucuan ketiga, dan ini paling lucu bagi kita praktisi komunikasi, adalah betapa masyarakat disana lebih senang tenggelam (dan selalu termakan) dalam komunikasi sensasional ketimbang komunikasi substansial –bahkan kaum terdidik sekalipun. Padahal mereka sebenarnya sangat hebat karena meskipun setiap suku yang jumlahnya ratusan memiliki bahasa sendiri-sendiri, tapi mereka tulus dan sepakat untuk menggunakan satu bahasa –dan bahasa itupun bukan bahasa suku yang dominan. Di tengah dunia dan zaman pada saat itu, kualitas toleransi dan kekompakan yang mereka tunjukkan termasuk dalam kategori luar biasa. Mereka selayaknya bangga dengan prestasi yang unik ini. Mereka sudah mantap dengan sarana dan alat komunikasi bersama: bahasa nasional.
Lucunya adalah sarana komunikasi yang mantap itu rupanya tidak diimbangi dengan substansi komunikasi yang mantap. Lihat saja media-media di negara itu, mereka memang kompak menggunakan bahasa bersama, tapi rupanya cukup kompak juga dalam mengkomunikasikan banyak hal yang lebih sensasional ketimbang substansial.
Dalam kasus rekaman sang pejabat, materi komunikasi yang terlempar di masyarakat mayoritas bekisar cercaan pedas, kekecewaan, dan berujung pada tuntutan yang bersangkutan supaya mundur dari jabatannya. Di tengah atmosfer sensasional yang dibangun –entah sengaja entah tidak– oleh media dan masyarakat itu sendiri, hal-hal tersebut mungkin tampak wajar.
Tapi fenomena ini sebenarnya sangat lucu karena tidak didukung oleh substansi yang tepat, bahkan keliru dan salah kaprah. Saking tenggelamnya diskusi publik di ranah sensasional, sedikit sekali yang bisa mengkomunikasikan substansi yang penting. Apa sih substansi seseorang menjadi pejabat negara seperti anggota parlemen? Dan apa substansi yang sebenarnya valid untuk memaksa seseorang mundur dari jabatan pemerintahan?
Seharusnya substansinya tidak lain dan tidak bukan adalah kinerja yang bersangkutan dalam mengemban tugasnya. Lucu bukan kalau “hanya” karena rekaman beberapa menit saja yang tidak ada hubungannya dengan kinerja yang bersangkutan di parlemen bisa memaksanya mundur sementara mungkin lusinan atau bahkan ratusan kolega lainnya dengan kinerja buruk masih bisa melenggang di kantor yang terhormat. Kalaupun yang bersangkutan itu memang kinerjanya juga buruk, ya silakan diproses atas dasar kinerjanya, bukan atas dasar perbuatannya di waktu pribadi. Jika perbuatannya itu melanggar hukum, ya silakan dilakukan proses hukum yang berlaku.
Sepintas lalu mungkin ini trivial. Meskipun hasilnya mirip yaitu pemberhentian pejabat, tapi proses dan dasar pengambilan keputusan haruslah tepat. Kurangnya komunikasi akan proses dan dasar logika yang benar inilah yang rupanya makin membuat negara itu lucu. Pengangkatan dan pemberitaan yang terfokus pada masalah kinerja pejabat kiranya akan jauh lebih elegan, mendidik, dan substantif daripada melulu berkutat pada rekaman sensasional. Apalagi belum lama di negara itu katanya difatwakan haram untuk membuka dan membicarakan secara publik aib rumah tangga seseorang, selebriti sekalipun.
Sebagai penutup kisah komedi ini, hal lucu terakhir adalah meskipun masyarakat dan media disana sering sekali menunjuk jari kepada “yang salah” tapi sebenarnya kalau mau dicari siapa yang salah sebenarnya salah siapa? Masyarakat disana telah diberikan kesempatan memilih wakil-wakilnya di parlemen dalam sebuah pesta demokrasi yang diacungi jempol oleh negara-negara lain. Komunitas media dan pembentuk opini juga memiliki kesempatan untuk memberikan restu (endorsement) atau kontra-opini terhadap partai atau golongan tertenu pra-pemilihan. Jadi salah siapa para wakil rakyat itu bisa menempati jabatannya? Di awal mereka dipilih rakyat sebagai alat negara kemudian dijatuhkan karena hal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan dan kinerja mereka.
Kelucuan-kelucuan diatas bagi orang lain mungkin memang benar-benar lucu. Sayang, kita tidak bisa ikut tertawa lepas karena saya dan Anda tahu negara dan masyarakat lucu itu negara dan masyarakatnya siapa.
Rotterdam, Desember 2006
Michael C. Putrawenas