Kunjungan Bush ke Indonesia

Tolak Polemik Bush, Urus Kepentingan yang Lebih Besar!

Mengamati pemberitaan di berbagai media Indonesia sejak beberapa pekan lalu, setiap hari pasti ramai berita utama yang mempermasalahkan dan menolak kunjungan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush. Memiliki pendapat pro dan kontra terhadap apa pun, termasuk kunjungan kepala negara asing tentu sah-sah saja selama disampaikan dengan etis dan tidak anarkis. Demonstrasi damai, talkshow, penulisan opini dan sejenisnya adalah beberapa alternatif yang bisa dipilih. Tulisan ini tidak ingin menolak ataupu mendukung kunjungan Presiden dari partai Republikan itu, tapi tulisan ini menolak polemik yang berlebihan di tengah masyarakat tentang kunjungan tersebut. Polemik ini telah mengaburkan permasalahan yang sebenarnya dan mengalihkan perhatian kita terhadap topik lain yang jauh lebih penting.

Coba kita pikirkan kembali “apa sih yang diributkan?” Ratusan atau bahkan ribuan orang bisa demonstrasi turun jalan dan dengan semangat tinggi menolak Bush. Apakah setiap demonstran tersebut tahu duduk-perkara apa yang mereka protes atau hanya semata-mata benci Bush seorang? Kalau hanya karena benci, sungguh mengkhawatirkan besarnya rasa benci yang tersimpan di masyarakat kita. Kalau protes kebijakan pemerintah Amerika, itu bukan alasan untuk menolak kedatangan seorang kepala negara. Justru perbedaan pada tingkat internasional sebaiknya diselesaikan dengan dialog langsung. Kehadiran seorang pemimpin negara adikuasa di Indonesia sebaiknya dimanfaatkan sebesar-besarnya. Pembicaraan bilateral yang berlangsung di tanah air bisa memberikan pengaruh positif dari segi bargaining selama dikemas dengan baik karena berada di kandang sendiri.

Kita sebaiknya cerdas dalam memilah mana yang perlu diprotes dan mana yang tidak substansial. Tidak perlu kita membabi-buta menggunakan jargon “tolak kunjungan Bush” atau “anti Amerika” karena itu hanya akan memberikan stigma pada seorang pribadi, bukan pemahaman akan masalah. Angkatlah permasalahan kontrak karya perusahaan-perusahaan mineral asing yang tidak adil, kecamlah kebijakan agresi Iraq dan Afghanistan, proteslah subsidi pertanian Amerika dan standar ganda proteksi perdagangan mereka, dan seterusnya. Kritiklah pemerintah terhadap pengamanan kunjungan yang berlebihan sehingga merugikan banyak penduduk sekitar Istana. Semua isu ini tidak ada yang serta-merta berarti kunjungan Bush harus ditolak. Ini adalah cara untuk menunjukkan bahwa kita adalah bangsa bermartabat yang berpikir, bukan cuma bangsa pembenci tukang demonstrasi.

Tidak semua yang berbau Amerika Serikat itu negatif. Bayangkan kalau rakyat Amerika Serikat menolak semua yang berbau Indonesia dan melakukan sweeping orang Indonesia. Ribuan pelajar dan profesional kita yang berpotensi membangun negara dengan ilmu dan kapitalnya akan bubar seketika. Ekspor kita ke negara dengan ekonomi terbesar itu akan terhenti, puluhan juta pekerja di Indonesia yang terkait dari proses produksi sampai transportasi akan menganggur dan keluarganya terlantar. Boleh-boleh saja tidak setuju dengan pendapat Gedung Putih, tapi kunjungan Bush bukanlah liburan pribadinya tapi sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara bernama Amerika Serikat. Institusi Presiden tidak hanya mewakili golongan tertentu tapi mewakili seluruh rakyatnya –termasuk banyak yang berkarya dengan jujur dan konstruktif bagi Indonesia.

Para pemuka masyarakat –yang tidak jarang merangkap sebagai pemuka demonstrasi– perlu mengarahkan diri mereka sendiri supaya bisa mendidik masyarakat dengan benar, bukan semata-mata menyebarkan kebencian demi kepentingan golongan, atau lebih parah lagi hanya demi ego dan popularitas.

Tapi yang lebih menyedihkan lagi dari polemik kunjungan Bush adalah betapa sangat mudahnya perhatian kita teralihkan dari sekian banyak masalah lain yang jauh lebih perlu untuk diurus di dalam negeri. Kasus Munir yang merupakan pengejewantahan reformasi hukum dan perjuangan hak asasi masih belum menunjukkan titik terang yang berarti sejak dua tahun lalu. Lumpur Lapindo terus menyembur dibawah ratapan puluhan ribu penduduk yang habis penghidupannya dan memutuskan jalur niaga. Saudara-saudara sebangsa seperti di Nusa Tenggara masih ada yang mengalami kelaparan. Lusinan Rancangan Undang-Undang di parlemen juga butuh ruang debat publik. Rekonstruksi Aceh dan pertanggungjawaban bantuan dunia semakin lama semakin menghilang dari pemberitaan. Masih setumpuk lagi topik-topik yang langsung menyangkut keberlangsungan negara ini.

Memang secara sekilas lebih high profile untuk tampak berani menolak kedatangan seorang George Bush daripada nyemplung kedalam lumpur masalah dalam negeri. Padahal nasionalisme akan jauh lebih berarti bukan dengan menunjukkan sikap anti terhadap negara lain –neo-imperialis sekalipun– tapi dengan kesediaan dan kesungguhan untuk berkutat dengan permasalahan yang sebenarnya dan bukan hanya pada tataran simbolis. Energi yang dihabiskan untuk demonstrasi (yang sangat diragukan apakah digubris atau tidak oleh yang bersangkutan) akan jauh lebih berguna digunakan untuk beragam bakti sosial untuk mengurus Bantar Gebang atau Pasar Bogor, misalnya. Hasilnya pun akan langsung dirasakan masyarakat sekitar daripada malah membuat macet jalanan dan menghambat produktivitas. Kita memprotes pembangunan helipad, tapi belum tentu kita semua bisa menjaga kebersihan Kebun Raya (kalaupun sudah pernah kesana).

Mudahnya pengalihan perhatian masyarakat menunjukkan agenda setting media yang perlu ditilik kembali. Media hendaknya tidak melulu bersifat populis. Peran media sebagai “moderator” diskusi publik harus ditegakkan. Para editor perlu memiliki kesadaran dan pemahaman yang baik terhadap mana topik yang harus (terus) diangkat dan mana yang hanya pantas diberitakan di kolom sampingan. Dampaknya nanti adalah, masyarakat akan urung untuk melakukan demonstrasi terhadap hal-hal yang tidak substansial karena tidak lagi mendapat perhatian media. Sementara, konsistensi dalam pelaksanaan agenda setting yang baik akan bisa memperkuat fungsi media sebagai alat kontrol publik dan penyampaian aspirasi rakyat yang berbobot.

Media seharusnya dapat mendesak pemerintah dan masyarakat supaya kasus demi kasus dan permasalahan demi permasalahan dapat diselesaikan sampai tuntas. Kecenderungannya selama ini adalah media mengangkat sebuah topik yang hangat di masyarakat selama beberapa hari lantas segera tenggelam diganti topik lain yang lebih populis sementara masalah sebenarnya masih terus menggantung. Kecenderungan ini perlu ditinggalkan dengan pemberitaan media yang lebih dewasa dan berkesinambungan.

Tapi media tidak akan dapat melakukan ini tanpa paradigma yang mendukung dari masyarakat. Ibarat hukum ekonomi permintaan dan penawaran, perlu ada permintaan dari masyarakat terhadap berita-berita yang berbobot dan relevan supaya penawaran dari media pun bak gayung bersambut. Tinggal kita mau menjadi berbobot atau hanya sekedar mau berkoar sambil mengacungkan jari di depan kamera. Terserah.

Rotterdam, 18 November 2006,
Michael C.N.C. Putrawenas

This entry was posted in Editorial, Indonesia. Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    Bukan Amal, Bukan Bonus!

    Jangan sampai kita terus menerus terjebak dan terbolak balik di negara ini dimana kerusakan yang diakibatkan operasi sebuah perusahaan pertambangan malah ditanggung Negara sementara tanggung jawab negara menyejahterakan rakyat malah dilimpahkan kepada perusahaan. Hendaknya baik pejabat pemerintah dan aktor swasta memahami betul peran dan tanggung jawab masing-masing secara profesional. Sah-sah saja tokoh bisnis menjadi negarawan karena setiap warga Negara memiliki hak politik yang setara. Tapi mari kita pahami perbedaan kewajiban setiap elemen untuk mencegah distorsi tanggung jawab.