Byline
Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.
From the Archives
Growing Towards Another Crisis?
By michael on 30/07/2006
The growth in Asia has been a phenomenon that can not be ignored. But with the growing body of research dedicated to the social implications of businesses as the main economic engine, it is crucial to assess Asian businesses in such perspective. Especially since the assertions made on Asian businesses are discomforting. The leading concept that entails the role of businesses to societal life is Corporate Social Responsibility (CSR). Is it still the case that the current growth in Asia not a sustainable one? Could Asia face another (social) crisis because of the behavior of Corporate Asia?
Category: Business & Society
Konstitusionalisasi Kontrak Perdata
Semburan lumpur panas yang diakibatkan kelalaian Lapindo Brantas kini telah merenggut hak-hak fundamental warga. Tidak kurang dari 13 ribu orang (Economist, 5 Oktober 2006) harus mengungsi karena kehilangan rumah, lingkungan hidup yang normal, dan pekerjaan, yang berimplikasi pada pemenuhan hak-hak fundamental lain, seperti hak atas pangan, kesehatan, dan pendidikan (Pasal 28 dan 31 UUD 1945).
Tragedi Lapindo ini hanyalah salah satu dari sekian banyak tragedi yang menimpa masyarakat akibat ulah kontraktor/pengusaha yang mengeksploitasi haknya berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak secara absolut. Misalnya kasus kontrak karya Freeport, yang disinyalir telah mengakibatkan kerusakan hutan lebih dari 86 ribu hektare (200 kilometer persegi) atau setara dengan luas Kota Jakarta (Radio Netherland, Seksi Indonesia, 14 Februari 2006; Tempo Interaktif, 6 Januari 2006).
Lalu kasus Newmont Minahasa Raya, yang saat ini dituntut memulihkan dan mengganti kerugian atas kerusakan lingkungan yang diakibatkan aktivitas penambangan emasnya. Jika perusahaan tambang yang telah mengantongi izin penambangan di Indonesia itu lebih dari seratus (Sadli, Business News, 16 Januari 2006) dan melakukan hal yang sama dengan perusahaan-perusahaan tambang di atas, dapat dibayangkan ancaman lingkungan yang akan berdampak pada pemenuhan hak-hak fundamental rakyat.
Kerusakan hutan yang mencapai 43 juta hektare hanya dalam tempo 20 tahun (World Resource, 2005) itu bisa jadi “bergandengan tangan” dengan kegagalan pemerintah menggunakan instrumen kebijakan publik, termasuk mengeluarkan perizinan dan membuat kontrak yang berkaitan dengan pengeksploitasian hutan. Belum terhitung kontrak lisensi paten di bidang obat-obatan, pertanian, informasi pengetahuan, dan teknologi yang berpotensi mengancam kepentingan masyarakat dalam memenuhi hak-hak fundamentalnya.
Guna menyelamatkan dan menjamin keberlanjutan kehidupan bersama, pemerintah harus melakukan intervensi yang adil dan patut guna melindungi kepentingan publik dan hak-hak fundamental rakyat. Hal ini dapat dilakukan melalui pengkajian kembali doktrin kebebasan berkontrak dan konstitusionalisasi kontrak-kontrak perdata (Hayyan ul Haq, Kompas, 30 Oktober 2006).
Reeksaminasi doktrin kebebasan berkontrak
Selama ini, para pelaku ekonomi yang beraktivitas di Indonesia mendasarkan kegiatannya pada asas kebebasan berkontrak. Semangat kebebasan berkontrak itu memungkinkan “setiap subyek hukum mana pun melakukan apa pun” sepanjang telah memenuhi kecakapan, kesepakatan, kepastian obyek perjanjian, dan legalitas (pasal 1320), tidak bertentangan dengan paksaan, penipuan, dan kelalaian (pasal 1321), serta beriktikad baik (Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Tragisnya, sekalipun legal, banyak kontrak yang dilakukan pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta tersebut justru mengakibatkan kerusakan dan ketidakseimbangan yang mengancam keberlanjutan kehidupan manusia seperti contoh beberapa tragedi di atas.
Kelemahan normatif yang berbasis pada doktrin kebebasan berkontrak ini menunjukkan bahwa sistem hukum kontrak kita gagal mengakomodasi kepentingan publik. Kelemahan ini mengharuskan para pengemban hukum melakukan refleksi dan reeksaminasi atas doktrin tersebut berdasarkan prinsip sustainabilitas yang dapat menjamin terpenuhinya hak-hak fundamental warga.
Hak-hak fundamental
Sesungguhnya prinsip sustainabilitas dan perlindungan hak-hak fundamental ini tidak saja berfungsi sebagai meta-nilai, tapi juga petunjuk operasional yang amat konkret dalam mengapresiasi sekaligus membatasi kebebasan berkontrak. Ia tidak saja menjadi petunjuk dalam menentukan isi dari apa yang diperjanjikan, tapi juga dalam mengevaluasi risiko yang timbul dari pelaksanaan kontrak.
Secara normatif, hal ini dimungkinkan mengingat elemen-elemen konstitutif yang menjamin sustainabilitas kehidupan bersama itu telah dirumuskan dalam Pasal 28 UUD 1945, seperti hak atas kesehatan, termasuk hak atas pangan dan lingkungan yang normal (pasal 28-H1), hak atas informasi (Pasal 28-F), dan hak atas pendidikan (pasal 31-1). Karena itu, setiap pengeksploitasian hak atau kepentingan para pihak (baik individu maupun korporasi) yang bertentangan dengan hak-hak fundamental tersebut adalah inkonstitusional. Berdasarkan logika hukum, pasal-pasal yang menegaskan hak-hak konstitusional rakyat tersebut jelas merupakan perintah tertinggi yang mewajibkan negara menghormati dan melindungi hak-hak fundamental warga, bahkan hingga pada tataran hubungan antarindividu.
Fungsi perlindungan hak fundamental ini pada hakikatnya merupakan kewajiban positif yang memaksa pemerintah mengambil tindakan atau kebijakan secara aktif guna menjamin perluasan perlindungan yang efektif bagi pemenuhan hak-hak fundamental warganya (Grosheide, 2004; Cherednychenko, 2006). Pemenuhan kewajiban positif yang menjadi tanggung jawab negara ini dapat berimplikasi pada kewajiban negara untuk melakukan perubahan atas undang-undang yang sudah ada, membuat undang-undang baru, mengubah praktek administrasi negara, bahkan mengubah pola manajemen keuangan negara yang berpotensi menghambat setiap individu dan masyarakat memenuhi hak-hak fundamentalnya.
Kontrak
Argumen di atas mengharuskan pemerintah mengevaluasi kembali semua kebijakan publik, baik di bidang hukum, ekonomi, politik, maupun sosial budaya, yang dapat menjauhkan masyarakat dalam memenuhi hak-hak fundamentalnya, seperti hak atas lingkungan yang baik, pangan, kesehatan, informasi, dan pendidikan, sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Ini berarti, demi hukum, pemerintah harus mengkonstitusionalisasi semua kebijakan publik, seperti perizinan, kontrak karya, bahkan kontrak perdata, yang dapat mengancam hak-hak fundamental warga. Selain itu, tanggung jawab dan kewenangan Mahkamah Konstitusi perlu diperluas dalam mengevaluasi kontrak yang dapat mengancam hak-hak fundamental (hak-hak konstitusional) setiap warga negara.
Di beberapa negara, pembadanan hak-hak fundamental ini bahkan diakui dalam penyelesaian sengketa perdata (Matscher and Petzold, 1993), sehingga tidak diragukan lagi kini ia telah dimasukkan ke diskursus hukum perdata (Dessemonte, 1998). Sebagai perbandingan, yurisprudensi yang menarik untuk dicermati antara lain yurisprudensi di Prancis (Paris Court of Appeal, February 1, 1989, 142 RIDA 301, 1989) dan yurisprudensi di Jerman (GermanConstitutional Court, July 7, 1971, 1972 GRUR 481, 3 IIC 394, 1972) yang membatalkan kontrak perdata di bidang hak cipta dengan alasan kontrak tersebut memuat klausul yang berpotensi menghambat individu dan masyarakat dalam memenuhi hak fundamentalnya seperti yang diatur dalam European Convention of Human Rights (ECHR), yaitu hak atas kebebasan berekspresi dan hak atas akses informasi.
Jika Prancis dan Jerman, yang tradisi hukumnya telah menginspirasi dan membesarkan doktrin kebebasan berkontrak itu, berhasil membadankan hak-hak fundamental (dalam ECHR) tersebut ke dalam produk-produk hukum dan kebijakannya guna membatasi keabsolutan kebebasan berkontrak, sudah sepatutnya para pengemban hukum di Indonesia yang memiliki tradisi kultural yang kuat dalam melindungi kemartabatan individu dan kehidupan kolektif (communalism) juga mampu mengapresiasi dan membadankan hak-hak fundamental warga yang diatur dalam UUD 1945.
Mencermati dampak dari kasus Lapindo, Freeport, Newmont, serta kerusakan dan asap pembakaran hutan yang amat memprihatinkan itu, kini saatnya para pengemban hukum kita (legislatif, eksekutif, yudikatif, dan advokat) melakukan perubahan yang mendasar atas cara pengapresiasian hak dan pengeksploitasiannya melalui rezim hukum kontrak guna menjamin keseimbangan yang patut dan keparipurnaan kehidupan kolektif. Dengan mengikatkan nilai-nilai dasar kemanusiaan (elemen konstitutif dari hak-hak fundamental) dan kepentingan publik yang tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam kontrak-kontrak perdata, pemerintah tidak saja memiliki legitimasi dan akseptabilitas yang kuat di masyarakat, tapi juga telah merefleksikan kemampuannya mengemban hukum yang valid dan fair.
Tempointeraktif, 6 Oktober 2006
Hayyan ul Haq, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Utrecht
Disadur dengan izin dari Penulis