Branding Indonesia

Memasarkan Indonesia Kedalam dan Keluar

Setiap hari jika kita membaca koran atau menonton televisi, hampir selalu kita disuguhkan berita-berita domestik yang membuat berdecak “Mau jadi apa negara ini?”, “Ah, bangsa makin payah aja!”, atau “Indonesia makin tidak karuan!” –lengkap dengan wajah mengkerut atau muka memble.

Jelas ada seribu alasan yang bisa menyebabkan sikap semacam itu. Kita memang sedang menghadapi banyak tantangan sebagai bangsa dan negara, tetapi sikap pesimis apalagi skeptis yang berlebihan jelas tidak akan menyelesaikannya. Tanpa perlu menyelam terlalu dalam ke dunia politik, sebenarnya ada panggilan mulia bagi praktisi komunikasi, pemasaran, dan periklanan. Panggilan itu adalah memasarkan Indonesia (tentu saja dalam artian yang positif) baik bagi bangsanya sendiri maupun masyarakat dunia.

Memasarkan Indonesia Kedalam

Repotnya dengan memasarkan Indonesia ke publiknya adalah makin meluasnya persepsi negatif tentang bangsanya sendiri, entah menganggap (orang) Indonesia itu malas, tidak becus, korup, bobrok, dan seterusnya. Padahal sikap semacam ini adalah generalisasi yang berbahaya dan jika berkepanjangan akan menjadi downward spiral alias semakin membuat kita terpuruk. Sikap ini akan membangun atmosfer negatif, saling tidak percaya, turun semangat, stress –lantas bagaimana mau maju? Tentu kita juga tidak perlu mengelabui diri sendiri bahwa Indonesia itu aman tenteram, hebat, dan baik-baik saja, tidak! Tapi mari kita mencoba mengajak dan mengkomunikasikan kepada masyarakat untuk melihat segala sesuatu sesuai proporsi dan konteks tanpa harus melakukan generalisasi yang kelewat negatif.

Banyak yang bisa kita banggakan kok. Dari mulai hal-hal ”klasik” seperti keindahan alam dan sumber dayanya serta ragam budaya sampai prestasi tunas-tunas bangsa di ajang kompetisi internasional. Sayang beribu sayang, hal-hal yang justru berpotensi menumbuhkan kebanggaan kita kepada Indonesia sangat sedikit dikomunikasikan (melalui media massa) dibandingkan dengan hal lain yang sudah menjadi ”makanan sehari-hari”. Kalaupun diberitakan biasanya cepat sekali tenggelam atau dimuat di halaman belakang.

Disinilah pentingnya internal country branding menurut Martin Roll dalam bukunya yang baru dirilis tahun ini, “Asian Brand Strategy – How Asia Builds Strong Brands”. Dua manfaat dari internal country branding adalah kemampuan untuk mempertahankan tenaga-tenaga ahli atau skilled workers dan peningkatan produktivitas akibat terjaganya semangat dan moral.

Sadar atau tidak, manfaat ini adalah bagian dari solusi permasalahan larinya orang-orang Indonesia yang berbakat ke luar negeri (brain drain) –sebuah permasalahan yang sudah sejak lama diatasi oleh Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan dengan menumbuhkan nasionalisme yang sangat mengakar. Hasilnya bisa kita lihat negara-negara tersebut maju pesat dengan memberdayakan potensi rakyatnya sendiri yang meskipun mengenyam pendidikan teknik mutakhir di luar negeri tapi tetap kembali untuk berkarya di negara masing-masing. Banyak pula emigran India yang meskipun sudah mapan bekerja sebagai tenaga ahli di Silicon Valley misalnya, tetap meluangkan waktu dan modal untuk mengembangkan usahanya di Bangalore. Dengan demikian, selain mereka membangun kapasitas dalam negeri sendiri, mereka juga melakukan diseminasi pengetahuan dan modal yang konstruktif.

Bolehlah kita setengah bermimpi sejenak: jikalau praktisi komunikasi dan pemasaran nasional bisa berhasil melakukan internal country branding sehingga banyak anak-anak dan profesional Indonesia yang semakin terikat dan peduli dengan Indonesia, bayangkan betapa banyak bakat dalam negeri yang bisa kita “selamatkan” daripada lari ke luar negeri. Betapa banyak ahli komputer, ahli fisika, ahli ekonomi, dan bahkan ahli komunikasi dan periklanan yang bisa dipertahankan untuk berkontribusi ke Indonesia “hanya” dengan menumbuhkan kesetiaan mereka kepada sebuah “brand”, brand Indonesia.

Ironisnya, banyak pakar komunikasi dan periklanan kita yang telah sanggup memasarkan berbagai produk luar negeri dengan sukses. Tapi belum ada yang sukses dan belum ada yang mau memasarkan negeri ini ke bangsanya sendiri. Untuk melakukan itu tidak perlu dengan mengumbar iklan layanan masyarakat yang mungkin nilai komersialnya kecil sementara sebagai perusahaan tentu kebutuhan finansial tetap ada.

Ambil saja contoh pemasaran produk lokal. Kita bisa membuat merek luar negeri menjadi digandrungi dan dipuja di pasar dalam negeri, tapi jarang sekali produk dalam negeri dipasarkan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah trend yang bisa dibanggakan. Jarang sekali, misalnya, sebuah merek lokal yang jika dikenakan para remaja atau profesional di pusat perbelanjaan membuat mereka percaya diri atau bangga. Sering orang merasa lebih bangga mengenakan kaos cinderamata bertuliskan ”I Love New York” atau ”Amsterdam” ketimbang kaos bertuliskan ”Jakarta” atau ”Bunaken” atau kaos-kaos jenaka Joger dan Dagadu.

Memang, para produsen lokal juga perlu menyadari pentingnya memasarkan produk mereka secara tepat dengan strategi pemasaran yang jitu. Tetapi sebelum menunjuk orang lain, ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri apakah industri komunikasi dan periklanan kita mau dan sanggup mendukung produk dalam negeri? Mendukung disini dalam arti memberikan segala daya upaya dan kreativitas meskipun mungkin kemampuan finansialnya dibawah kemampuan perusahaan multinasional asing.

Memasarkan Indonesia Keluar

Terkadang jika kita menonton CNN atau BBC terlintas iklan (pariwisata) beberapa negara tetangga kita terutama Malaysia, Thailand, dan Singapura. Pernah juga iklan tentang Indonesia mengudara di saluran berita internasional itu. Terlepas dari kualitas iklan, yang membedakan iklan para tetangga kita adalah konsistensi mereka. Malaysia dengan semboyan “Truly Asia”nya secara konsisten dan terus-menerus ditayangkan sehingga pemirsa internasional pun semakin lama semakin “terdoktrin” dengan konsep tersebut, berbeda dengan iklan Indonesia yang ireguler. Exposure target market terhadap repetisi suatu iklan untuk membentuk suatu mindset sebetulnya bukan hal baru –dan itulah yang dilakukan Malaysia.

Peran pemerintah disini memang sangat penting tapi hanya sebagai pemegang mandat yang berhak mewakili bangsa secara formal –iklan yang mewakili Indonesia secara resmi mungkin memang harus melalui instansi pemerintah supaya terkontrol. Tapi masih banyak hal bisa kita lakukan sebagai masyarakat dan komunitas bisnis untuk memasarkan Indonesia ke dunia internasional. Contoh paling legendaris mungkin adalah Singapore Airlines. Sebagai sebuah perusahaan, Singapore Airlines mengiklankan dirinya ke berbagai media internasional yang berpengaruh. Iklan-iklan yang dikemas elegan dan manis itu tidak hanya menjual jasa transportasi, tapi juga dengan bangga menunjukkan jati diri perusahaan yang bercorak Asia dan berasal dari Singapura. Seiring dengan prestasi perusahaan, reputasi negara yang dibawanya (Singapura) pun ikut terangkat. Ini hanyalah contoh kecil yang bisa kita lakukan untuk memasarkan Indonesia keluar dalam koridor periklanan profesional.

Kita perlu berbangga bahwa beberapa insan periklanan dan komunikasi Indonesia pernah mendapat penghargaan internasional dan hasil karyanya dikagumi para praktisi luar negeri (yang lagi-lagi menunjukkan bahwa yang berbau Indonesia tidak selalu negatif). Ini pun sebenarnya juga merupakan proses pemasaran Indonesia. Tapi sebaiknya bakat-bakat itu juga diaplikasikan untuk kepentingan yang lebih besar. Betapa dahsyatnya jika bakat-bakat brilian tersebut digunakan untuk menciptakan reputasi Indonesia sebagai bangsa dan negara yang berbudaya, bermartabat, dan berpotensi baik bagi rakyatnya sendiri maupun bagi dunia.

Hampir 80 tahun yang lalu, 28 Oktober 1928, berbagai elemen pemuda Indonesia berikrar satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa: Indonesia. Mungkin perlu juga praktisi komunikasi dan periklanan kini memiliki semangat satu merek: Indonesia.

Jakarta & Rotterdam,

September 2006,

Magdalena Wenas

Michael C. Putrawenas

This entry was posted in Indonesia and tagged , , , , , , , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    Suharto Escapes Trial, But Indonesia Does Not

    This is the original version of the article that appears on the back page of TIME magazine (Asia edition Vol. 171, No. 6, February 11,2008). The edited version is published under the title “The Soeharto Effect”. Different emphasis, related message. Suharto did a lot of good, but his corruption and atrocities did permanent damage to Indonesia. TIME omitted references to the implications for today’s public.