Oleh: Goenawan Mohamad

‘RUU Porno’: Arab atau Indonesia?

Seorang teman saya, seorang Indonesia, ibu dari tiga anak dewasa, pernah berkunjung ke Arab Saudi. Ia tinggal di sebuah keluarga di Riyadh. Pada suatu hari ia ingin berjalan ke luar rumah. Sebagaimana adat di sana, ia bersama saudaranya yang tinggal di kota itu melangkah di jalan dengan purdah hitam lengkap. Hanya sepasang matanya yang tampak.

Tapi ia terkejut. Di perjalanan beberapa puluh meter itu, tiba-tiba dua mobil, penuh lelaki, mengikuti mereka, mengitari mereka. Mata para penumpangnya nyalang memandangi dua perempuan yang seluruh tubuhnya tertutup itu.

“Apa ini?” tanya perempuan Indonesia itu kesal.

Cerita ini nyata–dan bisa jadi bahan ketika DPR membahas RUU “Anti Pornografi dan Pornoaksi” (kita singkat saja: “RUU Porno”). Cerita ini menunjukkan bahwa dengan pakaian apa pun, perempuan dapat dianggap merangsang berahi lelaki. Tapi siapa yang salah?

“Yang dapat membangkitkan nafsu berahi adalah haram,” kata Fatwa MUI Nomor 287 Tahun 2001. Bagi MUI, yang dianggap sebagai sumber “nafsu berahi” adalah yang dilihat, bukan yang melihat. Yang dilihat bagi MUI adalah benda-benda (majalah, film, buku–dan perempuan!), sedang yang melihat adalah orang, subyek, yaitu laki-laki.

“RUU Porno” itu, seperti fatwa MUI, jelas membawa semangat laki-laki, dengan catatan khusus: semangat itu mengingatkan saya akan para pria yang berada di dua mobil dalam cerita di atas. Mereka melihat “rangsangan” di mana saja.

Di Tanah Arab (khususnya di Arab Saudi yang dikuasai kaum Wahabi yang keras), sikap mudah terangsang dan takut terangsang cukup merata, berjalinan, mungkin karena sejarah sosial, keadaan iklim, dan lain-lain. Saya tak hendak mengecam itu.

Soalnya lain jika semangat “takut terangsang” itu diimpor (dengan didandani di sana-sini) ke Indonesia, atas nama “Islam” atau “moralitas”.

Masalah yang ditimbulkan “RUU Porno” lebih serius ketimbang soal bagaimana merumuskan pengertian “merangsang” itu. RUU ini sebuah ujian bagi masa depan Indonesia: apakah Republik 17 ribu pulau ini–yang dihuni umat beragam agama dan adat ini–akan dikuasai oleh satu nilai seperti di Arab Saudi? Adilkah bila nilai-nilai satu golongan (apalagi yang belum tentu merupakan mayoritas) dipaksakan ke golongan lain?

Saya katakan nilai-nilai di balik “RUU Porno” datang dari satu golongan “yang belum tentu merupakan mayoritas”, sebab tak semua orang muslim sepakat menerima nilai-nilai yang diilhami paham Wababbi itu. Tak semua orang muslim Indonesia bersedia tanah airnya dijadikan sebuah varian Arab Saudi.

Ini pokok kebangsaan yang mendasar. “Kebangsaan” ini bukan nasionalisme sempit yang menolak nilai-nilai asing. Bangsa ini boleh menerima nilai-nilai Wahabi, sebagaimana juga kita menerima Konfusianisme, loncat indah, dan musik rock. Maksud saya dengan persoalan kebangsaan adalah kesediaan kita untuk menerima pluralisme, kebinekaan, dan juga menerima hak untuk berbeda dalam mencipta dan berekspresi.

Mari kita baca sepotong kalimat dalam “RUU Porno” itu:

Dalam penjelasan pasal 25 disebutkan bahwa larangan buat “pornoaksi” (sic!) dikecualikan bagi “cara berbusana dan/atau tingkah laku yang menjadi kebiasaan menurut adat istiadat dan/atau budaya kesukuan”. Tapi ditambahkan segera: “sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan ritus keagamaan atau kepercayaan”.

Artinya, orang Indonesia hanya bebas berbusana jika pakaiannya terkait dengan “adat istiadat” dan “budaya kesukuan”. Bagaimana dengan rok dan celana pendek yang tak ada dalam “adat istiadat” dan “budaya kesukuan”?

Tak kalah merisaukan: orang Jawa, Bali, Papua, dan lain-lain, yang berjualan di pasar atau lari pagi di jalan, harus “berbusana” menurut selera dan nilai-nilai “RUU Porno”. Kalau tidak, mereka akan dihukum karena berjualan di pasar dan lari pagi tidak “berkaitan dengan pelaksanaan ritus keagamaan atau kepercayaan”.

Ada lagi ketentuan: “Setiap orang dilarang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa”.

Jika ini diterima, saya pastikan kesenian Indonesia akan macet. Para pelukis akan waswas, sastra Indonesia akan kehilangan puisi macam Chairil, Rendra, dan Sutardji serta novel macam Belenggu atau Saman. Koreografi Gusmiati Suid atau Maruti akan terbungkam, dan film kita, yang pernah melahirkan karya Teguh Karya, Arifin C. Noer, Garin Nugroho, sampai dengan Riri Riza dan Rudi Sujarwo akan menciut ketakutan. Juga dunia periklanan, dunia busana, dan media.

Walhasil, silakan memilih:

Indonesia yang kita kenal, republik dengan keragaman tak terduga-duga, atau Sebuah negeri baru, hasil “RUU Porno”, yang mirip gurun pasir: kering dan monoton, kering dari kreativitas.

7 Maret 2006

Disadur dengan izin dari Penulis

This entry was posted in Guest Writers, Indonesia. Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    Cleaning-up Civilization’s Combustion Chambers

    Most of us in a modern society take electricity and clean air for granted. An hour of blackout and we will scramble to charge our mobiles, complain about the dysfunctional air conditioning, or missing a favorite television show. We feel we are entitled for the electricity services because we duly pay our monthly dues. As […]