Oleh: Franz Magnis-Suseno

Sekitar RUU Antipornografi

Banyak pengamat menolak sebuah RUU antipornografi dengan argumen-argumen yang cukup kuat. Akan tetapi, di sini diandaikan bahwa dalam masyarakat seperti Indonesia UU tersebut masih diperlukan.

Namun, RUU yang sekarang sedang dibahas menurut saya tidak memenuhi syarat minimum kompetensi yang harus dituntut. Pertama, RUU ini tidak membedakan antara porno dan indecent (tak sopan) dan bahkan mencampuraduk dua-duanya dengan erotis. Porno adalah segala apa yang merendahkan manusia menjadi objek nafsu seksual saja. Tetapi dalam sebuah UU pengertian filosofis ini harus diterjemahkan ke dalam definisi yang operasional yang dapat dipertanggungjawabkan. Paham indecent malah tidak muncul di RUU ini. Istilah yang dipakai, “bagian tubuh tertentu yang sen- sual”, menunjukkan inkompetensi para konseptor RUU ini. Yang dimaksud (penjelasan pasal 4) adalah “antara lain alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya.” Dan itu semuanya porno? Astaga!

Bedanya porno dan indecent adalah bahwa porno di mana pun tidak diperbolehkan, sedangkan indecent tergantung situasi. Alat-alat kelamin primer memang di masyarakat mana pun ditutup. Tetapi bagian tengah tubuh perempuan di India misalnya tidak ditutup. Tak ada pornonya sedikit pun (dan perut bagian tengah terbuka pada anak perempuan sekarang barangkali tak sopan tetapi jelas bukan porno). Lalu, “bagian payudara perempuan” mulai di mana?

Paha di kolam renang tidak jadi masalah, tetapi orang dengan pakaian renang masuk di jalan biasa bahkan didenda di St Tropez. Yang harus dilarang adalah yang porno, sedangkan tentang indecency tak perlu ada undang-undang, tetapi tentu boleh ada peraturan-peraturan (misalnya di sekolah, dan bisa berbeda di Kuta dan di Padang).

Sedangkan “erotis” bukan porno sama sekali. Erotis itu istilah bahasa kesadaran. Apakah sesuatu itu erotis lies in the eyes of the beholder (tergantung yang memandang)! Bagi orang yang sudah biasa, perempuan dalam pakaian renang di sekitar kolam renang tidak erotis dan tidak lebih merangsang daripada perempuan berpakaian penuh di lain tempat. Tetapi perempuan elegan, berpakaian gaun panjang, kalau naik tangga lalu mengangkat rok sehingga 10 cm terbawah betisnya jadi kelihatan, bisa amat erotis.

Tarian erotis mau dilarang? Tetapi apakah ada tarian yang tidak erotis? Seni tari justru salah satu cara (hampir) semua budaya di dunia mengangkat kenyataan bahwa manusia adalah seksual secara erotis dan sekaligus sopan. Jadi erotis juga tidak berarti tak sopan. Hal erotis seharusnya sama sekali tidak menjadi objek sebuah undang-undang. RUU seharusnya tidak bicara tentang “gerak erotis”, “goyang erotis”. Yang harus dilarang adalah tarian porno. Karena itu porno harus didefinisikan secara jelas, tidak dengan mengacu pada “sensual” atau “merangsang” atau “mengeksploitasi”.

Saya mengusulkan bahwa definisi porno menyangkut (1)alat kelamin, payudara perempuan (itu pun ada kekecualian, jadi tidak mutlak; apalagi tak perlu embel-embel “bagian”), dan, kalau mau, pantat; dan (2) melakukan hubungan seks untuk ditonton orang lain.

Kedua, dan itu serius: Moralitas pribadi bukan urusan negara. Menurut agama saya memang semua pencarian nikmat seksual di luar perkawinan sah adalah dosa. Jadi kalau saya sendirian melihat-lihat gambar porno, itu dosa. Tetapi apakah negara berhak melarangnya? Bidang negara adalah apa yang terjadi di depan umum. Kalau orang dewasa mau berdosa di kamar sendiri, itu bukan urusan negara. Begitu pula, apabila saya beli barang porno untuk saya sendiri, itu tanda buruk bagi moralitas saya, tetapi bukan urusan negara (tetapi tawaran barang porno tentu boleh dilarang).

Yang perlu dikriminalkan adalah segala urusan seksual dengan orang di bawah umur. Menjual, memiliki, mendownload gambar, apalagi terlibat dalam aktivitas, yang menyangkut ketelanjangan, atau hubungan seks, dengan anak harus dilarang dan dihukum keras.

Semoga catatan sederhana ini membantu membuat undang-undang yang memenuhi syarat dan, lantas, juga bermanfaat.

Tulisan ini dimuat di Suara Pembaruan, 20 Februari 2006. Disadur dengan izin dari Penulis

This entry was posted in Guest Writers, Indonesia and tagged , , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    ‘RUU Porno’: Arab atau Indonesia?

    Masalah yang ditimbulkan “RUU Porno” lebih serius ketimbang soal bagaimana merumuskan pengertian “merangsang” itu. RUU ini sebuah ujian bagi masa depan Indonesia: apakah Republik 17 ribu pulau ini–yang dihuni umat beragam agama dan adat ini–akan dikuasai oleh satu nilai seperti di Arab Saudi? Adilkah bila nilai-nilai satu golongan (apalagi yang belum tentu merupakan mayoritas) dipaksakan ke golongan lain?