Byline
Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.
From the Archives
Salah Kaprah Paten Budaya
By michael on 12/10/2009
Dalam narasi proklamasi UNESCO atas wayang sebagai seni tak benda Indonesia, disebutkan ”Wayang stories borrow characters from Indian epics and heroes from Persian tales”. UNESCO menyatakan kita meminjam budaya orang lain dalam wayang kita. Apakah meminjam sama dengan mengklaim? Rabindranath Tagore dalam Letters from Java justru terharu dan bangga melihat budaya India dilestarikan di Jawa, bukannya menganggap ini sebagai klaim Indonesia, lalu marah dan meneriakkan perang.
Category: Guest Writers, Indonesia
Bahan Bakar Alternatif Potensi Produksi “Biofuel” Generasi II
Indonesia memiliki potensi besar untuk memproduksi generasi kedua biofuel yang dapat dihasilkan dari limbah, residu, serta tanaman nonpangan. Generasi kedua biofuel ini tidak “memakan” tanaman tebu, jagung, kedelai, minyak sawit, ataupun bahan baku yang membutuhkan area lahan seperti biji jarak pagar.
Teknologi generasi kedua biofuel (bahan bakar nabati) bukan hal baru dari segi penerapan teori-teori biologi, kimia, maupun fisika. Rekayasa teknologi ini mampu mengintegrasikan teori-teori yang ada hingga memperoleh temuan baru sebagai alternatif pemenuhan energi masa depan yang betul-betul ramah lingkungan.
Limbah yang dapat digunakan sebagai bahan baku generasi kedua biofuel antara lain limbah cair yang dapat ditemukan di mana pun. Sumbernya bisa berasal dari aktivitas rumah tangga, industri, perdagangan, pertanian, ataupun fasilitas umum seperti rumah sakit dan lain-lain.
Dari sifatnya yang mudah ditemui dan jumlahnya berlimpah, limbah cair tergolong sebagai bahan baku paling berpotensi.
“Masyarakat perkotaan di negara-negara berkembang sering menghadapi persoalan lingkungan yang berat karena limbah cair yang dihasilkan. Masyarakat seperti itu akan sangat membutuhkan aplikasi teknologi generasi kedua biofuel ini,” kata Tim Grotenhuis, ilmuwan teknologi lingkungan Universitas Wageningen, Belanda, saat menerima kunjungan Kompas atas undangan Netherlands Education Support Office (NESO) Indonesia, Jumat (21/9) lalu.
Neso sebagai lembaga di bawah Departemen Pendidikan Nasional Belanda memiliki program mengenalkan dunia pendidikan tinggi di Belanda, sekaligus sebagai lembaga yang menyalurkan beasiswa bagi profesional muda di Indonesia. Universitas Wageningen sebagai salah satu universitas riset yang dikenalkan NESO merupakan perguruan tinggi yang memfokuskan perhatian pada bioteknologi (bioenergi).
Beragam
Tim Grotenhuis pada kesempatan itu menyampaikan, Universitas Wageningen memiliki beberapa riset pengembangan bioteknologi yang beragam. Di antaranya adalah pengembangan bioteknologi minyak jarak sebagai pengganti minyak diesel berbahan bakar fosil.
Selain itu, mereka juga mengembangkan blue energy (energi biru) yang dihasilkan melalui proses ionisasi air tawar dan air laut hingga dapat menghasilkan listrik.
Akibat terbatasnya waktu kunjungan saat itu, Tim Grotenhuis menawarkan untuk mengunjungi proyek yang spesifik, yaitu pemanfaatan limbah cair untuk menghasilkan energi. Ini dipilih semata-mata karena sesuai dengan persoalan riil yang ada di negara berkembang seperti Indonesia.
Menurut Tim Grotenhuis, penanganan limbah cair yang ada selama ini masih dipusatkan pada proses daur ulang air limbah jadi air bersih atau air minum.
Teknologi generasi kedua biofuel berperan untuk lebih mengoptimalkan manfaat limbah cair dengan meningkatkan sasaran pemanfaatan, yaitu untuk memproduksi energi dan bahan gizi (nutrient).
Limbah yang dihasilkan teknologi bio-fuel cell berupa air murni sehingga teknologi ini tergolong paling ramah lingkungan dan dapat menunjang ketersediaan air minum.
Di samping energi, bahan gizi yang dimaksudkan di antaranya adalah hasil pengolahan limbah cair yang salah satu produknya adalah bahan gizi berupa fosfor dan nitrogen yang bermanfaat bagi tumbuhan seperti eceng gondok dan ganggang.
Aplikasi teknologi generasi kedua biofuel yang terpenting adalah proses menghasilkan hidrogen sebagai bahan bakar bio-fuel cell. Pembuatan hidrogen diawali dengan proses pembentukan gas metana.
Sebagai catatan, pembentukan gas metana secara alamiah terdapat pada proses pembusukan sampah domestik yang secara alamiah mengalami pemisahan lindi dan sampah padat.
Gas metana terbentuk dari sisa sampah atau limbah padat tersebut. Sementara itu, lindi diproses ulang menjadi air murni. Endapan padat sampah kemudian mengalami proses anaerobik (reaksi tanpa oksigen) yang menghasilkan gas metana dan karbon dioksida (CO2).
Gas metana itu lalu dipetik. Dari gas metana yang dihasilkan, kemudian dapat dipetik hidrogen (H) dengan kandungan 90 persen melalui pemanasan 400° Celsius-500° Celsius dan proses separasi melalui membran katalisator dengan meninggalkan sisa berupa karbon dioksida.
Hidrogen tersebut kemudian siap digunakan untuk menghasilkan energi dengan teknologi fuel cell. Teknologi fuel cell dengan bahan bakar hidrogen tak hanya bermanfaat untuk memproduksi listrik, tetapi juga dapat dikembangkan sebagai bahan bakar alat transportasi. Saat ini beberapa negara sudah mengembangkan air murni yang ramah lingkungan sebagai bahan bakar alat transportasi.
“Konsep teknologi generasi kedua biofuel dengan bahan baku limbah cair ini tergolong baru dan kami masih terus mengembangkan riset untuk menghasilkan teknologi yang mudah diaplikasikan,” kata Grotenhuis.
Residu serat tumbuhan
Hal menarik terkait aplikasi teknologi generasi kedua biofuel secara terpisah diungkapkan salah satu warga Indonesia yang bekerja di Belanda, Michael Putrawenas (24). Michael, lulusan Universitas Erasmus, Belanda, saat ini menjadi carbondiokside strategy analyst pada perusahaan Shell Renewables.
“Eropa sangat berminat dengan pengembangan teknologi generasi kedua biofuel,” kata Michael.
Michael mencontohkan, perusahaannya sekarang mengembangkan produksi etanol selulosa dari residu serat tumbuhan yang berasal dari sisa tanaman produksi, seperti jerami dan sebagainya. Shell menggandeng Iogen Corporation dari Kanada untuk mengadakan riset pengembangannya.
Riset etanol selulosa yang dipelopori Shell ini dimulai sejak 2002. Pada tahun 2006, Volkswagen kemudian bergabung dengan Shell dan Iogen Corporation untuk melakukan studi kelayakan agar secara ekonomis mampu memproduksi bahan bakar etanol selulosa ini di Jerman.
Upaya yang ditempuh Shell memberikan sekadar gambaran kecil lainnya, betapa banyak peluang yang bisa diraih untuk mengaplikasikan teknologi generasi kedua biofuel.
Tantangan yang menarik bahwa limbah ternyata kemudian tidak harus tetap sebagai limbah yang selama ini kurang memberi manfaat. Hal ini hanya bisa terjadi ketika dilakukan riset untuk pengembangan teknologi generasi kedua biofuel….
Bagi Indonesia, pengembangan teknologi generasi kedua biofuel ini pantas dilirik. Gas metana begitu melimpah mengingat cara pembuangan sampah dengan sistem open dumping.
Akan tetapi, ironisnya, ternyata lembaga teknis seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) hingga kini terus mengimpor gas metana untuk produksi bahan bakar hidrogen. Jadi…?
Sumber: Kompas
5 Oktober 2007