Perombakan Kabinet

Studi Banding, Andi Matalata, dan Komunikasi

Di akhir bulan Juli 2005, beberapa media massa nasional dan lokal memuat dan menayangkan foto-foto yang dikirim oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda. Foto-foto tersebut menggambarkan beberapa anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat berlenggang memasuki Hotel Radisson SAS Hoofdorp, dekat Amsterdam di Belanda. Tampak mencolok tas-tas belanja mereka bermerek mahal seperti Gucci dan Bally. Para anggota Dewan yang terhormat waktu itu sedang berada di Belanda dengan dalih “studi banding”.

Foto-foto tersebut –yang diambil dengan sepengetahuan mereka setelah kami memperkenalkan diri dengan santun, jauh dari gaya paparazzi seperti dituduhkan beberapa pihak- bak gayung bersambut dan memunculkan diskusi publik yang cukup hangat tentang studi banding DPR. Sebelum ke Belanda, rombongan yang sama padahal juga sudah mendapatkan sambutan yang cukup keras dari Perhimpunan Pelajar Indonesia di Perancis.

Rekan-rekan jurnalis turut berkontribusi dengan memberikan informasi kepada publik, dari mulai anggaran studi banding sampai alokasi uang saku. Seorang jurnalis yang berdomisili di Belanda bahkan mengkonfirmasi bahwa parlemen Belanda ternyata sedang reses musim panas dan kebanyakan sedang berlibur ketika rombongan DPR RI tersebut berkunjung.

Sayang, diskusi publik yang terjadi kemudian baanyak memperdebatkan boleh-tidaknya seorang anggota DPR pergi dinas ke luar negeri dan belanja barang mewah. Padahal yang waktu itu kami pertanyakan adalah efektivitas studi banding lusinan anggota Dewan yang menelan biaya tidak sedikit.

Studi banding memang ada kalanya sangat penting. Jika memang pada jadwal istirahat, rombongan ingin membelanjakan uangnya (dengan menghindari prasangka buruk, kita asumsikan halal) untuk belanja ya silakan saja. Itu hak mereka. Cerita akan menjadi lain ketika perjalanan itu tidak dapat dibuktikan kegunaannya, jelas-jelas menelan biaya besar, dan yang tampak justru hanya bagian belanjanya saja.

Lebih sayang lagi, beberapa anggota Dewan yang terpotret –termasuk Andi Mattalata yang kini menjadi Menteri Hukum dan HAM – ketika diberikan kesempatan oleh pers untuk menanggapi pemberitaan tentang foto-fotonya hanya memberikan jawaban yang membela bahwa dirinya berhak belanja. Pak Andi dan rekan-rekannya memang betul tentang hak mereka belanja. Tetapi yang waktu itu tidak terjawab hingga saat ini adalah efektivitas dan kegunaan studi banding itu sendiri.

Jika memang studi banding yang dilakukan instansi Negara sungguh berguna dan efektif, maka tidak akan ada yang meributkan soal tas Gucci atau Bally yang ditenteng masuk hotel mewah. Bahkan mungkin malah banyak dukungan terhadap studi banding.

Saat ini banyak sekali alternatif yang dapat ditempuh sebagai substitusi studi banding DPR dengan biaya lebih murah dan justru lebih efektif. Kalau memang hanya ingin bertemu 2 atau 3 pejabat dari negara sahabat untuk belajar tentang suatu topik, apa tidak lebih baik diundang saja 2-3 pakar tersebut ke Jakarta daripada menerbangkan lima belas anggota Dewan dengan akomodasi mewah? Kita juga memiliki kantor-kantor perwakilan tersebar di seluruh dunia yang dapat digunakan sebagai kanal informasi dan perbandingan.

Masyarakat Indonesia di luar negeri juga dapat diberdayakan untuk melakukan fungsi studi banding. Banyak kandidat sarjana S1, S2, dan S3 yang bersekolah di luar negeri bersedia memberikan kontribusi sesuai bidang kepakarannya bagi Indonesia. Kaum profesional Indonesia yang bekerja di luar negeri juga tidak sedikit dan tidak sepele. Mereka termasuk golongan yang sudah mendalami bidang tertentu, memiliki jaringan yang tepat, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tinggal di luar negeri. Kemungkinan besar mereka pun lebih paham permasalahan dan keadaan setempat daripada rombongan studi banding yang hanya menghabiskan 3 atau 4 hari di suatu negara asing.

Memang mungkin secara prosedural pertanggungjawaban tentang sebuah perjalanan studi banding sudah diatur dalam mekanisme internal DPR, dan jelas akan kacau kalau setiap peserta studi banding memberikan pertanggungjawaban publik masing-masing. Tantangan yang kita perhatikan disini adalah tantangan berkomunikasi. Kalau memang ada ukuran efektivitas studi banding dan prosedur pelaporannya, komunikasikanlah dengan lugas. Setelah itu, komunikasikan pula hasil laporannya. Dengan begitu, masyarakat pun menjadi lebih sadar prosedur. Kalau prosedurnya dinilai perlu dirubah, maka diskusi bisa berlanjut ke ranah yang berbeda yaitu pembenahan prosedur evaluasi studi banding.

Materi dan kualitas sebuah komunikasi sangat dipengaruhi oleh aktor-aktor komunikan. Jika yang kita permasalahkan adalah hal-hal yang tidak substansial, maka jangan harap komunikasi yang terjalin berkualitas. Demikian pula jika lawan komunikasi kita menanggapi tanpa substansi, maka yang ada hanyalah waktu dan tenaga yang terbuang tanpa hasil.

Selamat bertugas kepada Pak Andi dan rekan-rekan menteri yang baru, semoga dapat berkarya dengan integritas demi kepentingan rakyat dan dengan membangun komunikasi yang berkualitas!

Rotterdam, 9 Mei 2007,
Michael C. Putrawenas

This entry was posted in Editorial, Indonesia and tagged , , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    Thank You to You All

    Twenty-three years—a flash in time for some, an eternity for others. For me at the moment, it’s simply my entire living journey—a journey in which I am grateful for all its joy and sorrow, its hardships and pleasure, as well as its passion and madness.